MUSH'AB BIN UMAIR

Mushab bin Umair adalah satu diantara para shahabat Nabi SAW. Sungguh sangat indah jika
kita menghayati kisahnya.
Dia seorang remaja Quraisy paling menonjol, paling tampan, dan paling bersemangat. Para
penulis sejarah biasa menyebutnya sebagai “pemuda Makkah yang menjadi sanjungan
semua orang”.
Dia lahir dan dibesarkan dalam limpahan kenikmatan. Bisa jadi, tak seorangpun diantara anak
muda Makkah yang dimanjakan kedua orang tuanya seperti yang didapatkan Mushab bin
Umair.
Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, selalu
dielu-elukan, dan bintang di setiap rapat dan pertemuan, akan berubah menjadi tokoh dalam
sebuah cerita keimanan dan perjuangan demi membela Islam…?
Sungguh satu kisah penuh pesona… Kisah perjalanan Mushab bin Umair atau kaum muslimin
biasa menyebutnya “Mushab Al-Khair (yang baik)”…
Dia adalah satu diantara orang-orang yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad
SAW. Seperti apakah dia…?
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggan seluruh umat manusia.
Suatu hari, anak muda ini mendengar berita tentang Muhammad yang selama ini dikenal
jujur… Berita yang juga mulai didengar oleh warga Makkah… Muhammad yang selama ini
dikenal jujur itu (Al-Amin) menyatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan. Mengajak umat manusia beribadah kepada Allah
yang Maha Esa.
Perhatian warga Makkah terpusat pada berita ini. Tiada yang menjadi buah pembicaraan
mereka kecuali tentang Rasulullah SAW dan agama yang dibawanya. Tak ketinggalan anak
muda yang manja ini. Dia terlihat sangat serius mendengarkan berita ini. Meskipun usianya
masih muda, ia menjadi bintang di setiap rapat dan pertemuan. Kehadirannya di setiap rapat
dan pertemuan selalu dinanti. Gayanya yang mempesona dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Mushab bin Umair yang mampu menyelesaikan banyak persoalan.
Diantara berita yang didengarkannya ialah Rasulullah bersama pengikutnya biasa berkumpul
di satu tempat yang jauh dari gangguan orang-orang Quraisy. Yaitu, di bukit Shafa, di rumah
Arqam bin Abul Arqam. Dia pun segera mengambil keputusan. Di suatu senja, dia bergegas
ke rumah Arqam bin Abul Arqam.
Di rumah itulah Rasulullah bertemu para shahabatnya, mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan
melaksanakan shalat.
Mushab masuk dan duduk di sudut ruangan. Dan, di sinilah perubahan akan dimulai. Ayatayat
Al-Qur’an mulai mengalir dari hati Rasulullah. Bergema melalui kedua bibir beliau.
Mengalir menembus telinga, merasuk ke dalam hati.
Mushab terlena, terpesona oleh kalimat-kalimat ityu. Dia terbuai, melayang entah ke mana.
Rasulullah mendekatinya, mengusap dada Mushab dengan penuh kasih sayang. Dada yang
sedang panas bergejolak itu akhirnya menjadi tenang dan damai, setenang samudra yang
dalam.
Setelah itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat, pemuda yang telah masuk Islam ini
berubah menjadi pemuda yang arif bijaksana. Jauh melebihi usianya. Ditambah lagi dengan
semangat dan cita-citanya yang kuat. Semua itulah yang nantinya mampu mengubah
perjalanan sejarah.
Khunas binti Malik, ibunda Mushab adalah seorang wanita yang berkepribadian kuat. Ia
seorang wanita yang disegani bahkan ditakuti.
Ketika Mushab masuk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakutinya selain ibunya sendiri.
Bahkan, seandainya seluruh Makkah termasuk berhala-berhala, para pembesar dan padang
pasirnya berubah menjadi satu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan
menghancurkannya, Mushab tidak akan bergeming sedikitpun. Akan tetapi, jika ibunya yang
menjadi penghalang, maka itulah rintangan yang sesungguhnya.
Mushab segera mengambil keputusan untuk merahasiakan keislamannya sampai Allah
memberikan keputusan yang terbaik.

Mushab selalu datang ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah. Dia merasa bahagia
dengan keislamannya. Bahkan, rela jika harus menerima kemarahan ibunya yang sampai
saat ini belum mengetahui keislamannya.
Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu.
mata-mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana. Mengintai setiap gerak dan langkah.
Seorang laki-laki bernama Usman bin Thalhah, di satu waktu, melihat Mushab memasuki
rumah Arqam dengan mengendap-endap. Lalu di waktu yang lain melihat Mushab melakukan
shalat seperti dilakukan Muhammad dan para shahabatnya.
Akhirnya, berita keislaman Mushab sampai juga ke telinga ibunya.
Saat ini, Mushab berdiridi hadapan ibu dan sanak kerabatnya, serta para pembesar Makkah.
Dengan hati mantap dia membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah membersihkan hati para
pengikutnya. Mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan; juga kejujuran dan ketaqwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba
tangan yang bergerak cepat itu jatuh terkulai, saat melihat cahaya yang bergerak cepat itu
jatuh terkulai, sat melihat cahaya yang membuat wajah yang berseri itu kian berwibawa dan
patut dipindahkan. Cahaya yang menimbulkan ketenangan dan rasa pasrah.
Karena rasa keibuannya, ibunda Mushab tidak jadi memukul putranya. Dia memikirkan cara
lain untuk memberi pelajaran kepada putranya yang telah ingkar kepada tuhan-tuhan
sesembahannya. Akhirnya, Mushab disekap di satu kamar, dikunci rapat dari luar.
Untuk beberapa lama, Mushab terkurung dalam ruangan itu, hingga dia mendengar bahwa
beberapa shahabat Nabi SAW hijrah ke Habasyah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Mushab. Dengan sedikit strategi dia berhasil mengecoh ibu dan para penjaganya. Ia berhasil
lolos dari kurungan, lalu ikut hijrah ke Habasyah.
Dia tinggal bersama saudara-saudaranya sesama muhajirin. Lalu pulang ke Makkah.
Kemudian ia pergi lagi hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya bersama para shahabat atas
titah Rasulullah SAW.

Baik di Habasyah maupun di Makkah, keimanan Mushab semakin mantap. Dia menapaki pola
hidup baru yang diajarkan oleh teladannya, Muhammad SAW. Mushab sudah mantap kalau
sleuruh kehidupannya akan diberikan hanya untuk Sang Pencipta yang Maha Agung.
Pada suatu hari, dia menghampiri kaum muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah
SAW. Melihat penampilan Mushab, mereka menundukkan pandangan, bahkan ada yang
menangis. Mereka melihat Mushab memakai jubah usang yang bertambal-tambal. Padahal,
masih segar dalam ingatan mereka bagaimana penampilannya sebelum masuk Islam.
Pakaiannya ibarat bunga di taman, menebarkan aroma wewangian.
Adapun Rasulullah, beliau menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan
syukur dalam hati. Kedua bibirnya tersenyum bahagia dan bersabda.
“Dahulu tiada yang menandingi Mushab dalam mendapatkan kesenangan dari orang tuanya.
Lalu smua itu dia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mushab kepada berhala
sesembahannya, dia menghentikan segala pemberian yang biasa diberikan kepada Mushab.
Bahkan, dia tidak mengizinkan makanannya dimakan orang yang telah mengingkari berhalaberhala
itu, meskipun orang itu adalah anak kandungnya sendiri.
Terakhir kali bertemu Mushab adalah saat hendak mencoba mengurungnya lagi, sewaktu
Mushab pulang dari Habasyah. Mushab pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk
membunuh orang-orang ibunya bila rencana itu dilakukan. Mengetahui tekad putranya yang
begitu kuat, maka sang ibu membatalkan niatnya. Keduanya berpisah dengan cucuran air
mata.
Perpisahan itu memperlihatkan kegigihan luar biasa dalam mempertahankan kekafiran, di
pihak sang ibi, dan kegiigihan yang juga luar biasa mempertahankan keimanan, di pihak si
anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah, “Pergilah sesuka hatimu. Aku bukan ibumu
lagi.” Mushab menghampiri ibunya dan berkata, “Wahai Ibu, aku sangat sayang kepada Ibu.
Karena itu, bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya.”
Sang ibu menjawab dengan marah, “Demi bintang-gemintang, aku tidak akan masuk ke
dalam agama itu. Otakku bisa rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lain.”

Mushab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang pernah dialaminya, dan memilih
hidup miskin serta kekurangan. Pemuda ganteng dan parlente itu, kini hanya mengenakan
pakaian yang sangat kasar, sehari makan dan beberapa hari rela menahan lapar. Akan tetapi,
jiwanya yang telah dihiasi aqidah suci dan cahaya ilahi, mengubah dirinya menjadi seorang
manusia yang lain. Manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.
Sekarang, Mushab dipilih Rasulullah untuk melakukan tugas sangat penting: menjadi utusan
Rasulullah ke Madinah. Tugasnya adalah mengajarkan agama Islam kepada orang-orang
Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Juga untuk
mengajak orang lain menganut agama Islam, dan mempersiapkan kota Madinah untuk
menyambut hijrah Rasulullah ke kota itu.
Sebenarnya, di kalangan para shahabat saat itu masih banyak yang lebih tua, lebih
berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah SAW dari pada
Mushab. Tetapi, Rasulullah memilih Mushab al-Khair. Rasulullah sadar sepenuhnya bahwa
beliau telah memikulkan tugas sangat penting kepada pemuda itu. menyerahkan kepadanya
masa depan Islam di kota Madinah. Kota yang tak lama lagi akan menjadi kota hijrah, pusat
dakwah, tempat berhimpunnya penyebar dan pembela Islam.
Mushab memikul amanah itu dengan bekal kecerdasan dan akhlak mulia yang dikaruniakan
Allah kepadanya. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan keikhlasan, dia berhasil memikat hati
penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.
Saat Mushab memasuki Madinah, jumlah orang Islam hanya 12 orang. Yaitu, orang-orang
yang telah berbaiat di bukit Aqabah. Hanya dalam beberapa bulan, penduduk Makkah sudah
berbondong-bondong masuk Islam.
Pada musim haji berikutnya, kaum muslimin Madinah mengirim rombongan yang mewakili
mereka untuk menemui nabi. Mereka berjumlah 70 orang yang dipimpin oleh guru mereka,
oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mushab bin Umair.
Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mushab bin Umair telah membuktikan bahwa
Rasulullah SAW tidak salah memilih orang. Mushab benar-benar memahami tugasnya. Ia
tahu apa yang harus dilakukan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah mengajak manusia untuk
menyembah Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu agama yang mengajak
manusia mencapai hidayah Allah, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Tugasnya
seperti tugas Rasulullah: hanya menyampaikan.

Di Madinah, Mushab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zurarah. Dengan didampingi
As’ad, ia mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan untuk
membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Menyampaikan “bahwa hanya Allah Tuhan yang berhak
disembah” dengan sangat hati-hati.
Ia pernah menghadapi peristiwa yang mengancam keselamatan diri dan rekannya itu. tapi,
dengan kecerdasan dan kebesaran jiwanya, ia berhasil mengatasinya dengan sangat baik.
Suatu hari, ketika sedang berdakwah di tengah di tengah orang-orang suku Abdul Asyhal,
tiba-tiba Usaid bin Hudhair, sang kepala suku muncul dengan menghunus tombak. Usaid
muncul dengan kemarahan yang membuncah. Ada orang yang akan menyelewengkan
penduduknya dari keyakinan mereka. Mengajak mereka meninggalkan tuhan-tuhan mereka.
Mengajak meninggalkan tuhan-tuhan yang tempatnya jelas, bisa didatangi, dan bentuknya
kelihatan. Sedangkan Tuhan yang baru itu tidak bisa dilihat dan tidak bisa dijumpai.
Tak ayal lagi, orang-orang Islam yang ada di tempat itu ketakutan. Akan tetapi, Mushab al-
Khair tetap tenang dengan air muka yang tidak berubah.
Seakan hendak menerkam, Usaid mendekati Mushab dan As’ad bin Zurarah. Dengan kasar ia
berkata, “Apa maksud kalian datang ke kabilah kami ini? Apakah hendak membodohi rakyat
kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini jika tidak ingin nyawa kalian melayang.”
Seperti tenang dan mantapnya samudra, laksana damainya cahaya fajar, terpancarlah
ketulusan hati Mushab al-kahir, dab bergeraklah bibirnya mengeluarkan kata-kata
menyejukkan, “Mengapa Anda tidak duduk dan mendengarkan terlebih dahulu? Jika nanti
Anda tertarik, Anda dapat menerimanya. Dan jika nanti Anda tidak suka, kami akan
menghentikan apa yang tidak Anda sukai.”
Allahu akbar! Sungguh awal yang baik, yang tentu berakhir dengan baik pula.
Usaid adalah orang yang bijak. Dan saat ini, ia diajak oleh Mushab u. berbicara dan meminta
pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Ia hanya diminta mendengar. Jika ia suka
dengan apa yang dikatakan Mushab, maka ia akan membiarkan Mushab berdakwah. Jika ia
tidak suka dengan ajaran Mushab, maka Mushab berjanji akan meninggalkan kabilah dan
masyarakatnya untuk mencari tempat dan masyarakat lain. Tidak ada yang dirugikan bukan?
“Baiklah,” kata Usaid. Lalu ia duduk dan meletakkan tombaknya.

Mushab mulai membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan menguraikan dakwah yang dibawa oleh
Muhammad SAW. Bacaan dan uraian Mushab mengalir ke telinga Usaid, memasuki dada dan
menerangi hati yang ada di dalamnya. Belum usai Mushab membaca dan memberikan uraian,
tiba-tiba bibir Usaid bergetar dan berkata, “Alangkah indah kata-kata ini. Tidak ada satu
kesalahan pun. Apa yang harus dilakukan orang yang mau masuk agama ini?”
Serentak gema tahlil keluar dari bibir kaum muslimin “Laa ilaaha illallah, Muhammadar
rasuulullah.” Tahlil bergema seakan ingin mengguncang dunia.
Mushab berkata, “Hendaklah ia membersihkan pakaian dan badannya, lalu mengucapkan
Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah.”
Usaid meninggalkan mereka beberapa saat, kemudian kembali dan air masih menetes dari
rambutnya. Ia berdiri dan mengucapkan “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna
Muhammadan rasuulullah.”
Berita ini tersebar dengan sangat cepat, secepat cahaya.
Sa’ad bin Mu’adz juga mendatangi Mushab. Setelah mendengar uraian Mushab, ia pun
masuk Islam. Setelah itu Sa’ad bin Ubadah juga masuk Islam.
Masuk Islamnya tiga tokoh ini berarti pintu lebar bagi masuk Islamnya penduduk Madinah.
Mereka berkata, “Jika Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah sudah
masuk Islam, apalagi yang kalian tunggu?! Mari kita menemui Mushab dan menyatakan
keislaman kita.” Kata orang, “kebenaran itu terpancar dari setiap kata-katanya.”
Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada tara.
Suatu keberhasilan yang layak diperolehnya…
Beberapa tahun kemudian, Rasulullah bersama para shahabatnya hijrah ke Madinah.
Di pihak lain, orang-orang kafir Quraisy semakin geram. Mereka menyiapkan kekuatan u.
melampiaskan dendam mereka terhadap kaum muslimin. Maka, terjadilah perang badar dan
kaum kafir Quraisy pun mendapatkan pelajaran pahit yang membuat mereka semakin kalap
dan tidak waras. Mereka berusaha menebus kekalahan di Perang Badar itu. Kemudian tibalah
perang uhud. Rasulullah berdiri di tengah barisan kaum muslimin, menatap setiap wajah:

siapa yang sebaiknya membawa bendera pasukan? Ketika itu, terpilihlah Mushab al-Khair. Ia
maju dan membawa bendera pasukan dengan mantap.
Peperangan berkobar dan berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah kaum muslimin
melanggar perintah Rasulullah. Mereka meninggalkan posisi mereka di atas bukit setelah
melihat pasukan musuh lari terbirit-birit. Perbuatan mereka itu secepatnya mengubah
suasana. Kemenangan berganti kekalahan.
Tanpa diduga pasukan berkuda musuh menyerang pasukan kaum muslimin dari atas bukit.
Pasukan Islam pun kalang kabut.
Melihat barisan kaum muslimin porak-poranda, musuh pun mengarahkan serangan ke
Rasulullah SAW. Mushab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya
bendera pasukan setinggi-tingginya. Dengan suara kantang ia bertakbir, “Allaahu akbar”. Ia
maju, menerjang, berkelebat ke sana kemari mengibaskan pedangnya. Ia ingin mengalihkan
serangan musuh yang sedang tertuju kepada Rasulullah SAW. Ia menyerang sendiri, namun
terlihat seperti satu pasukan tentara.
Sungguh, walaupun hanya seorang diri, Mushab bertempur laksana sepasukan tentara. Satu
tangannya memegang bendera pasukan yang harus terus berkibar, dan tangan satunya lagi
menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Jumlah musuh yang dihadapinya Mushab
semakin banyak. Mereka semua ingin menginjak-injak mayatnya untuk mencapai Rasulullah.
Marilah kita dengarkan apa yang diceritakan oleh saksi mata. Bagaimana saat-saat terakhir
sebelum Mushab bin Umair gugur sebagai syahid.
Ibnu Sa’d menyebutkan bahwa Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil berkata, “Ayahku
pernah bercerita begini, ‘Mushab bin Umair adalah pembawa bendera pasukan di Perang
Uhud. Tatkala barisan kaum muslimin porak-poranda, Mushab tetap gigih berperang. Seorang
tentara berkuda musuh, Ibnu Qamiah menyerangnya dan berhasil menebas tangan kanannya
hingga putus. Mushab mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul,
yang sebelumnya telah didahului oleh para Rasul.”
Lalu, bendera itu ia ambil dengan tangan kirinya dan ia kibarkan. Musuh pun menebas tangan
kirinya hingga putus. Mushab membungkuk ke arah bendera pasukan, lalu dengan kedua
pangkal tangannya ia mendekap dan mengibarkan bendera itu, sambil mengucapkan,
“Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh
para Rasul.”

Orang berkuda itu menyerangnya lagi dengan tombak, menghunjamkannya ke dada Msuh’ab.
Mushab pun gugur, dan bendera pun jatuh’.”
Gugurlah Mushab dan jatuhlah bendera. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para
syuhada. Ia gugur setelah berjuang dengan gigih. Mengorbankan semua yang dimilikinya
demi keimanan dan keyakinannya.
Ia merasa, jika ia gugur, akan sangat terbuka peluang untuk membunuh Rasulullah. Demi
cintanya kepada Rasulullah yang tiada terbatas, dan kekhawatiran akan nasib Rasulullah, ia
menghibur dirinya setiap kali pedang menebas tangannya, “Muhammad itu tiada lain hanyalah
seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para Rasul.”
Kata-kata ini terus ia ulangi. Kata-kata yang kemudian hari menjadi bagian dari ayat Al-
Qur’an. Al-Qur’an yang akan senantiasa dibaca oleh kaum muslimin.
Setelah pertempuran usai, jasad pahlawan gagah berani ini ditemukan terbaring dengan
wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang suci. Seolah-olah tubuh yang telah
kaku itu takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa musibah. Karena itu, ia menyembunyikan
wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang ditakutinya itu. Atau, ia merasa malu karena telah
gugur sebelum bisa memastikan keselamatan Rasulullah dan sebelum ia selesai menunaikan
tugasnya dalam membela dan melindungi Rasulullah.
Wahai Mushab cukuplah bagimu Sang Penyayang. Namamu akan selalu dikenang.
Rasulullah bersama para shahabat mengitari setiap sudut medan pertempuran untuk
menyampaikan salam perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat
terbaringnya Mushab, bercucurlah air mata beliau dengan deras.
Khabbab bin Arat menceritakan, “Bersama Rasulullah, kami hijrah di jalan Allah, untuk
mengharap ridha-Nya. Pasti kita mendapat ganjaran di sisi Allah. Diantara kami ada yang
lebih dulu meninggal dunia, dan belum menikmati pahalanya di dunia ini sedikitpun. Mushab
bin Umair adalah satu dari mereka. Ia gugur di perang Uhud. Tidak ada yang bisa dipakai
untuk mengkafaninya kecuali sehelai kain. Jika ditutupkan mulai dari kepalanya, kedua
kakinya kelihatan. Jika ditutupkan mulai dari kakinya, kepalanya kelihatan. Maka, Rasulullah
bersabda, ‘Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan tutupilah kakinya dengan rumput idzkhir.”

Betapa pun luka pedih dan duka mendalam menimpa Rasulullah karena Hamzah (paman
beliau) gugur dan tubuhnya dirusak oleh orang musyrik, hingga bercucuran air mata beliau.
Betapa pun penuhnya medan perang dengan jenazah kaum muslimin, di mana mereka
semua adalah panji-panji ketulusan, kesucian, dan cahaya. Betapapun semua itu
menggoreskan luka mendalam di hati Rasulullah, tapi beliau menyempatkan berhenti sejenak
dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas kepergiannya dan mengeluarkan isi
hatinya. Rasulullah berdiri memandangi jasad Mushab bin Umair dengan penuh kasih sayang
dan cahaya kesetiaan. Beliau membaca firman Allah,
“Diantara orang-orang mukmin terdapat orang-orang yang telah menepati janji mereka
kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab : 23)
ada kesedihan di mata beliau ketika melihat kain yang dipergunakan mengkafani Mushab.
Beliau bersabda, “Ketika di Makkah dulu, tak seorangpun yang lebih halus pakaiannya dan
lebih rapi rambutnya dari pada kamu. Tetapi sekarang ini, rambutmu kusut, hanya dibalut
sehelai burdah.”
Dengan kesayuan, Rasulullah melayangkan pandangan ke semua susut medan perang dan
ke arah para syuhada: kawan-kawan Mushab yang terbaring di sana. Lalu beliau bersabda,
“Sungguh, pada hari Kiamat kelak, di hadapan Allah, Rasulullah akan menjadi saksi bahwa
kalian adalah para syuhada.”
Setelah itu, beliau memandang para shahabat yang masih hidup, dan bersabda, “Hai kalian
semua, kunjungilah mereka, dan ucapkanlah salam. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-
Nya, tak seorang muslim pun, sampai hari Kiamat kelak, yang mengucap salam kepada
mereka, kecuali mereka akan membalas salam itu.”
Kami ucapkan salam untukmu, wahai Mushab.
[sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW]

Tidak ada komentar: