B A C A L A H !!!

Rasulullah saw tidak pernah mundur dari dakwah, walaupun kaum Quraisy senantiasa menteror, merekayasa dan memfitnah, bahkan paman beliau menganjurkan supaya ia bersikap lunak dalam berdakwah. Namun Rasulullah menolak dan mengatakan: “Demi Allah, sekalipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan risalah yang kupikul, aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memberi kemenangan, atau aku mati binasa dalam menjalakannya.” Imam Ahmad bin Hambal tidak menyerah ketika para penguasa menyuruhnya mengatakan ”Al Qur’an itu makhluk.” Ia tetap menolak sekalipun harus memikul penderitaan dan siksaan. Asy Syahid Sayid Qutub pun tidak menyerah ketika diminta kepadanya supaya mengatakan: “Hukum yang berlaku (di Mesir) bukan hukum jahiliyah,” agar dengan mengatakan demikian, ia selamat dari tiang gantungan. Bahkan Imam Syahid Hasan Al-Banna tewas diterjang oleh peluru makar yang dimuntahkan imperialis kuffar Rezim Mesir. Goresan kalbu yang menorehkan sikap keteguhan hati berlanjut dari masa hingga terpecikan juga di negeri Indonesia. Hukuman mati diberikan rezim orde lama kepada Imam Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dikarenakan ia difitnah keji sebagai “pemberontak” dalam menegakkan Kalimatullah.



Banyak orang yang menderita siksaan demi untuk menegakkan Dien Islam. Mereka tahu benar bahwa keteguhan hati dan kemauan mereka menjadikan mereka tetap sebagai pelita yang menerangi jalan. Dikarenakan mereka tidak meragukkan lagi eksistensi Allah SWT sebagai Rabb yang Maha segala Maha. Sebelum Isa diangkat sebagai Rasul, Allah telah menunjuk Musa sebagai pembawa berita kebenaran. Musa tunduk atas segala perintah Allah, sebagaimana difirmankan: “Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampui batas, maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata lemah lembut, mudah mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha:33-34) Musa pun menyampaikan ayat-ayat Allah dengan perkataan lemah lembut, tetapi Fir’aun menolak ajakan itu malahan berusaha menentang dan membunuh Musa. Fir’aun berusaha mengumpulkan massa dan ia mengumumkan: ”…Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.” (QS. An-Nazia: 24). Jika kita telaah dan kita renungkan pernyataan sikap kaum kuffar dan Fir‘aun pada era millinium ke tiga ini, dengan suatu analisis objektif, Subhanallah, kita juga dapat menjumpainya…sangat dekat dan bisa jadi kita ada dalam pelukkannya.

“Masa bertambah cepat, amal makin kurang, kekikiran banyak bertemu, fitnah (kekacauan) terjadi dan huru-hara tambah banyak.” Mereka bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasullullah ! Yang mana?” Jawab Rasulullah: “Pembunuhan, pembunuhan !” (HSR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.). Sabda Rasulullah tersebut sangat menggelitik jiwa mereka yang dapat memahami apa yang terjadi. IQRA’ ! bacalah. Apa yang harus dibaca ? Dengan apa manusia membaca ? Apa tujuan membaca ? Bagaimana pula cara membacanya ? Kapan dan dimana ruang dan waktu membaca ? Pertanyaan demi pertanyaan melingkari dan mengurung manusia dengan berbagai untaian pertanyaan. Jikalau bukanlah karunia Allah SWT niscaya manusia itu ‘mati’ dalam kebingungan.



Iqra’ adalah bentuk perintah. Hukumnya perintah, wajib. Jadi setiap manusia wajib Iqra’. Obyek Iqra’ pada penggal ayat pertama tidaklah jelas, sehingga yang di Iqra’ adalah yang tersurat dan tersirat. Kemudian Allah Azza Wa Jalla memberikan celah pemahaman bahwa membaca segala sesuatu itu harus diawali Bismi Rabbik, yaitu dengan nama Tuhanmu atau dengan ajaran Rabbmu, dalam artian apabila manusia membaca sesuatu tanpa menggunakan nama Allah SWT atau tidak dengan ajaran Allah SWT, maka hasilnya tidak akan optimal (sia-sia). Mengapa Allah Azza Wa Jalla memerintahkan membaca dengan atas nama-Nya. Tidak dengan nama lain. Dan mengapa Allah SWT menggunakan ‘Rabb’. Mengapa Dia tidak eksplisit menyebut nama Allah dengan menyebut Bismillah. Allah Azza Wa Jalla mengenalkan diri-Nya Rabb yang mengandung makna fungsi eksistensi. Skala obyek Iqra’ sangat luas yaitu membaca ciptaan Allah SWT berupa segala yang ada di bumi dan di langit. Hal ini diinformasikan Allah melalui firman-Nya: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan ? ” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21). Relevan dengan alur pemikiran yang terkandung dalam wahyu pertama, bahwa obyek Iqra’ lebih difokuskan kepada manusia. Kemudian pada surah Adz-Dzariyat ayat 21 bahwa dalam diri manusia itu penuh ‘misteri’ yang harus dieksplorasi.



Rabb yang mencipta segala sesuatu itu adalah bahasa tentang ketuhanan yang sifatnya umum. Arab jahiliyah menyembah berhala la’ata, uzza, mana’at akan tetapi mereka juga menyebutnya rabb. Karena masyarakat jahiliyah menganggap bahwa menyembah berhala itu mendapatkan perlindungan, ketenangan, rizki dll. Oleh karena itu Allah SWT secara diplomatis menggunakan kata rabb yang diakhiri dengan ‘I Ladzi Khalaq, yang bermakna yang menciptakan-yang maha pencipta. Mengandung artian bahwa rabb yang dipertuhankan masyarakat jahiliyah itu tidak dapat berbuat apa-apa. Seperti yang termaktub dalam QS. An-Nahl : 20 :”Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) di buat orang”.



Ayat pertama Surah Al-‘Alaq itu memberikan pencerahan alam pemikiran manusia bahwasanya hendaknya mengenal nama-nama Rabb yang menciptakan alam. Ketika manusia berkonsentrasi menyelami makna ayat-ayat Al Qur’an dengan menampikkan berbagai macam kekusutan duniawi, dan senantiasa berdo’a memohon hidayah-Nya. Insya Allah akan menemui satu titik terang yang merupakan hal pokok dalam berkehidupan di dunia ini. Manusia akan mengenal betapa hinanya manusia sebagai budak nafsu dan bukan sebagai hamba Allah yang taat. Kata Rabb yang berarti; pencipta (alam), pengatur (hukum), perumus (kebijakan), memelihara, mendidik, pemilik, akan melekat dalam lubuk hati manusia dikala manusia itu mencari dan menapaki risalah dengan satu renungan; Allah pulalah sebagai tujuan hakiki mencari keridhaan-Nya.




Iqra’, berarti bacalah. Konotasi dan interpretasinya, analisislah, lakukanlah riset, selidikillah, pikirkanlah, pelajarilah dan proklamasikanlah. Apa yang harus diselidiki? Apa yang harus dipikirkan? Dan apa yang harus diproklamasikan?



Sebelum menjawab pertanyaan, yang pertama dicari terlebih dahulu adalah akar permasalahannya. Yang sudah nampak dipermukaan telah terjadi kepincangan sosial budaya di Jazirah Arab dan dunia umumnya. Perbudakan, penindasan, dan pemerkosaan hak asasi manusia, perampokan secara konvensional dan modern, sudah mewabah ditengah masyarakat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah membudaya secara structural. Bahkan kebusukan perilaku penguasa dibungkus dengan “bintang jasa”. Padahal, anugerah dibalik bintang jasa itu ada manipulasi diri agar tidak diketahui oleh rakyat. Akan tetapi rakyat bukanlah benda mati. Mereka mempunyai pikiran, perasaan dan yang jelas batinnya tidak dapat dibohongi oleh tipu daya penguasa dzhalim. Bagaikan api dalam sekam, setiap saat dapat menyulut kobaran api revolusi menumbangkan tirani yang kejam.



Sasaran Iqra’ adalah IPOLEKSOSBUDHANKAM yang merupakan benteng sistem ketatanegaraan. Suatu negara ini akan makmur gemah ripah loh jinawi, apabila landasan idiilnya mengacu kepada kebenaran mutlak. Pemerintah Arab Jahiliyyah sebelum turunnya Al Alaq’, kondisi sistem politiknya sangat labil, sehingga keutuhan nasional Hizaz terancam disintegrasi. Apalagi ketakutan atas adanya dua adikuasa, Roma dan Persia, cukup mengompori semangat disintegrasi itu. Disintegrasi terjadi karena keadilan tidak berkeadilan. Seluruh kekayaan rakyat di daerah disentralisasikan dan segalanya harus menunggu kebijakan sentral. Daerah hanya mendapat percikan anggaran yang tidak berimbang dengan pendapatan. Dikarenakan mengacu kepada asas “keseimbangan” dan “stabilitas nasional”.



Abad modern yang menjadikan materi sebagai tolak ukur harga diri merupakan tantangan berat. Kondisi budaya seperti ini tak ubahnya zaman jahiliyah sebelum turunnya Al Qur’an. Materi dijadikan tuhan, kekuasaan dijadikan tuhan, orang kaya lebih disegani dari pada ulama’, penguasa lebih dihormati dari pada ulama’, ulama pun telah banyak dicabuli oleh gemerlapnya harta dan kekuasaan.



Suatu adegan iman yang indah sekali. Ketika Bilal bin Rabah disiksa majikannya, dia tidak mengaduh kesakitan, tapi apa yang terucap ?…”Ahad !” suatu jawaban mantap dan menggetarkan para penyiksa dan majikannya. Ini menunjukkan bahwa pelindung dirinya hanyalah Allah Yang Ahad. Dialah yang memiliki asma ‘ul husna, Dialah yang menguasai alam semesta termasuk diri majikannya. Bilal tak gentar menghadapi ancaman maut dari boss yang berlaku kasar dan sadis. Inilah buah Iqra’ yang menghasilkan ma ‘rifat kepada Allah Azza Wa Jalla. Dibalik adegan penyiksaan yang tidak memudarkan iman Bilal bin Rabbah itu, hati kecil bossnya terusik. Gerangan doktrin apakah yang menjadikan Bilal setegar itu, materi kajian apa yang disampaikan Rasulullah sehingga para pengikutnya memiliki militansi tinggi. Karena gengsinya para penggede kaum kuffar tidak ingin menyatakan salut dan ikut serta beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.



Indonesia dengan maraknya format politik yang mengatasnamakan dirinya konstitusi dengan moralitas ummat akhir-akhir ini sungguh sangat mengenaskan, trend yang berkembang pada ummat adalah penegakkan konstitusi sebagai sarana/alat demokratisasi. Akan tetapi disana sini terdapat intrik subjektif yang terlontar dari para elite rezim Republik Indonesia. Keadaan ini diperparah lagi dengan eksistensi ummat Islam yang tak lagi mengkaji serta menerapkan Al Qur’an dan Assunnah sebagai konsep aktual yang handal dalam berinteraksi di masyarakat manusia. Cara-cara dzolim seperti; pembusukan, fitnah, kekerasan dan bahkan memakai konsep-ajaran thaghut (baca: sesat) yang berlandaskan hawa nafsu telah menjadi suatu ajaran yang diaplikasikan, sebagaimana Allah SWT telah memberikan sinyal peringatan dalam firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”. (Q.S. An Nisaa’ : 60).




Penjelmaan thaghut ini terlihat jelas dengan kebobrokan moral dan akhlak ummat, baik generasi muda dan para orang tuanya membusuk dan menimbulkan suatu permusuhan, dendam, tawuran, perebutan kekuasaan dan kemaksiatan. Ummat Indonesia pada umumnya hanya stres dunia dan tidak stres akhirat, padahal mati kapan saja datang !



Berbagai kepentingan kekuasaan duniawi hilir mudik dengan arogansi kecanduannya kepada thaghut-hawa nafsu. Terjadinya konflik horizontal dalam ummat Islam Indonesia adalah karena kedurhakaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, atau ingkar dari tuntunan Kitabullah dan Assunnah. Bilamana kita mengikuti jejak orang kafir yang suka mempermainkan ayat-ayat Allah dan mengedepankan hawa nafsu maka kita akan mengalami situasi chaos atau kehancuran mekanisme peradaban ummat, seperti yang dialami ummat-ummat lain pada zaman jahiliyah dulu. Hal ini telah disebutkan dalam Q.S. Ali ‘Imran: 103, “Dan berpeganglah kamu semuanya pada tali Allah (agama Islam), janganlah kamu berpecah-belah dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (di masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah merukunkan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara”. Dan Rasulullah pun telah memberikan wasiatnya kepada kita semua; “Orang yang sangat dibenci Allah ialah orang yang suka bermusuh-musuhan” (HSR. Bukhari dari Aisyah r.a.)

Monopoli aparatur pemerintahan dengan berbagai langkah strategis pada bidang ekonomi, hukum, dan perangkat kenegaraan dipegang & dikuasai oleh sistem peradaban neo jahiliyah yang terformulasi dan termanifestasi dalam Pancasila sebagai satu satunya sumber hukum-pedoman hidup masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai sumber pesakitan ummat telah memaksa ummat Islam Indonesia memasuki bahkan menyeret ummat Muslim kedalam bentuk institusi kekufuran kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Terlihat jelas pada aspek interaksi sosial produksi dengan adanya permasalahan ketimpangan dan kedzaliman tatanan masyarakat yang selalu dalam gejolak perebutan kekuasaan. Pada aspek hukum dengan indikator yang begitu nyata menyudutkan kebenaran pada posisi lemah-tertindas, terlihat lengkap di balik permasalahan ketidak adilan dan ketidak-berdayaan-nya lembaga peradilan, dikarenakan akhlaq akademis manusianya mengadopsi hukum neo jahiliyah-kolonial. Begitu pula ambruknya akhlak ummat ketika mengembangkan sains dan teknologi sebagai ambisi ekspansif bangsa dan negara karena dikemas untuk memenuhi sifat materialis dan individualis.



Jika kita kaji lebih mendasar kesatu titik bagaimana Islam memandang suatu permasalahan/perkara memang sangat tragis…?! Karena kita akan menemukan akar permasalahan yang terjadi pada ummat ini adalah akibat idiologi yang dianut ummat, bangsa dan negara. Idiologi ummat Indonesia yang dianut bahkan diberhalakan menjadi satu acuan-rujukan berkehidupan merupakan idiologi thaghutisme (sesat) yang timbul dari produk hawa nafsu manusia. Pro kontra, konflik horizontal, fitnah dan berbagai macam kekusutan tatanan pada kondisi ummat yang beridiologi selain Al Islam tak dapat dibendung bahkan tidak akan mungkin selesai, karena Allah juga telah memberikan rambu peringatan pedas kepada kita semua dalam firman-Nya: “Apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”. (Q.S. Asy Syuura: 30). Idiologi produk manusia yang berdasarkan thaghutisme itulah yang melahirkan perpecahan- ketimpangan; sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya, undang-undang/hukum, pertahanan--militer dan sebagainya.



Maka al-‘Alaq ayat pertama menyajikan pemikiran Revolusi Ideologi. Allah Azza Wa Jalla mengajarkan sistematika berpikir revolusi yang indah. Diperkenalkan terlebih dahulu posisi Allah sebagai Tuhan secara Implisit, namun mengakar dalam hati sanubari manusia. Allah mengajarkan teori revolusi idiologi secara-melalui pendekatan sosio kultural untuk membongkar akar masalahnya, yakni idiologi thaghut-sesat.

Itulah hasil kajian ayat pertama surah al-‘Alaq, apabila benar cara mengkajinya dan benar pula menerapkannya, akan benar pula sepak terjangnya dalam kehidupan sebagai seorang manusia (hamba Allah SWT). Berbekal ma’rifat kepada Allah SWT akan melahirkan konsistensi dalam perjuangan sampai idiologi itu eksis secara sistem. Inilah sosok idiologi sejati yang membawa obor kebenaran ditengah gelap gulitanya alam jahiliyah tradisional atau neo jahiliyah seperti di negeri Indonesia saat ini.




Sudah waktunya ummat Islam dewasa ini kembali kepada dasar kajian Al Qur’an sebagaimana Rasulullah SAW memulainya. Telah banyak terori yang diimpor dan diadopsi dari berbagai sumber. Tetapi hasilnya nihil dan tidak dapat menunjukkan eksistensi hukum Allah SWT secara kaffah. Hal ini terjadi karena ummat Islam sudah asing terhadap materi kajian wahyu yang berhasil diterapkan Rasulullah SAW sebagai bukti nyata hasil perjuangan angkatan pertama. Seandainya generasi pertama gagal dalam mengaplikatifkan konsep hidup menurut nuzulnya wahyu, apakah mungkin Islam dapat dinikmati oleh ummat sesudahnya.



Tidak ada alasan bagi ummat Islam untuk tidak kembali kepada Al Qur’an, dikarenakan Allah Azza Wa Jalla telah memberikan penjelasan sejelas-jelasnya dan telah melewati uji materi yang hakiki (para Rasul) dalam firman-Nya: “(Al Qur’an) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran .” (Q.S. Ibrahim: 52).



“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (Q.S. Al Maaidah: 50)

Kesalahan besar bagi ummat Islam Indonesia jika membatasi diri dalam teritori sempit-picik dari pemahaman Islam hanya masalah ibadah saja (shalat, atau shaum). Akan tetapi ummat Islam Indonesia seharusnya meyakini, memahami dan mengaplikasikan Al Islam sebagai aqidah dan ibadah, negara dan ummat bernegara, moral dan akhlak, undang-undang-hukum dan kultur sosial, serta kesatuan interaksi ber-amaliah. Keterlibatan ummat Islam dalam kancah politik memang suatu keharusan demi tegaknya Dien Allah SWT. Karena berpolitik bagi ummat Islam adalah suatu energi da’wah Islamiyah yang diformulasikan dengan moralitas Islamy guna mewujudkan tatanan masyarakat Madani. Ummat Islam hendaknya mengembalikan nilai-nilai esensial Islam (Al Qur’an dan Assunnah) pada dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa dan negara.



Kekuasaan sendiri bukan tujuan utama dari kaum Muslimin, akan tetapi kekuasaan harus dilihat sebagai amanah yang dikaruniakan oleh Allah SWT untuk mengayomi masyarakat, menegakkan keadilan, membangun kesejahteraan bersama dan memelihara peradaban ummat. Setiap kekuasaan hendaknya tertanam dan mengandung pertanggung jawaban kepada Allah SWT dan ummat manusia. Dan setiap mu’min mengemban tugas menjadi pemimpin di alam ini, ia wajib merefleksikan dan mengaplikasikan Al Qur’an dan Assunnah sebagai satu-satunya pedoman hidup bagi (pribadinya) ummat manusia. Rasulullah sangat mewanti wanti kepada mereka yang memegang kekuasaan, “Seorang pembesar yang memerintahi rakyat kaum Muslimin, apabila pembesar itu mati, sedang dia tidak jujur terhadap rakyat, niscaya dia dilarang oleh Allah masuk surga.” (HSR. Bukhari dari Ma’qil r.a.).



Wallohualam...


Sasaran Iqra’ adalah IPOLEKSOSBUDHANKAM yang merupakan benteng sistem ketatanegaraan. Suatu negara ini akan makmur gemah ripah loh jinawi, apabila landasan idiilnya mengacu kepada kebenaran mutlak. Pemerintah Arab Jahiliyyah sebelum turunnya Al Alaq’, kondisi sistem politiknya sangat labil, sehingga keutuhan nasional Hizaz terancam disintegrasi. Apalagi ketakutan atas adanya dua adikuasa, Roma dan Persia, cukup mengompori semangat disintegrasi itu. Disintegrasi terjadi karena keadilan tidak berkeadilan. Seluruh kekayaan rakyat di daerah disentralisasikan dan segalanya harus menunggu kebijakan sentral. Daerah hanya mendapat percikan anggaran yang tidak berimbang dengan pendapatan. Dikarenakan mengacu kepada asas “keseimbangan” dan “stabilitas nasional”.

Tidak ada komentar: